Monday, July 22, 2013

Rumah


Di usia yang 40 tahun ini ternyata saya sudah pernah tinggal di 18 tempat yang berbeda.



Rumah pertama yang saya diami adalah di Jalan Tebet Utara I no 50 C. Dengan halaman yang teramat luas, saya ingat di sebelah kiri halaman rumah dipenuhi pohon jambu air, alpokat, flamboyan nan kekar, pohon pisang. Sebelah kanan rumah pernah ditanami jagung, selebihnya ada pohon merak, dan jambu biji. Halaman yang luas ini benar-benar merupakan wadah saya  mengumpulkan teman-teman saya untuk bermain petak umpet, bentengan, dampu, pasar-pasaran, sampai drama bertemakan perang kemerdekaan. 15 tahun pertama kehidupan saya dihabiskan di rumah ini. Kami meninggalkan rumah ini karena anak ua merasa "lebih berhak" tinggal di properti ortunya yang selama ini dipercayakan kepada orangtua saya.

Selepas dari sini, ortu saya mengontrak rumah di JL Tebet Timur Dalam I L , yang hanya terdiri dari 2 kamar dan 1 ruang tamu dan selasarnya dijadikan ruang makan. Saat itu kedua abang saya sudah keluar dari rumah; yang pertama berlayar di kapal pesiar dan yang satunya lagi tinggal di asrama AIP. Yang saya ingat adalah saya cukup senang karena diberikan kamar sendiri sehingga saya sering menikmati berjam-jam membuat kartu ucapan sampai mata saya lamur dan harus berkacamata plus. Yang lucunya lagi, diumur yang 15 itu saya tengah naksir anak Pangudi Luhur yang nota bene guangteng dan tajir, sehingga  kalau sehabis bepergian, saya menolak habis-habisan diantar sampai ke rumah. Dan meski akhirnya sempat dekat dengan salah satu teman SMA, saya juga kucing-kucingan untuk tidak ditemui di rumah.

Setelah setahun berlalu, kami pindah rumah lagi ke Kompleks Hankam, Jalan Cipinang Jaya II yang merupakan rumah teman ibu saya yang kosong karena beliau ditempatkan sebagai atase militer di Philipina. Di rumah yang besar ini , saya kebagian malah kamar kecil yang pas-pasan hanya untuk tempat tidur dan meja belajar.

Lalu akhirnya kami pindah ke Pondok Pucung, Jalan Anggrek Blok B IV no 22, bersamaan dengan saya memulai kehidupan mandiri , kost di Depok. Saya benar-benar menikmati tinggal dan mengatur sendiri kehidupan. Dari kost di Pondok Permata, pindah ke Graha Libra dan akhirnya di Pondok Laksmi.

Setelah lulus Diploma FISIP, saya pindah kost ke daerah rawamangun, mendekati kampus IKIP dan ditampung di rumah ortu teman kuliah saya yang kebetulan ketua jurusan lain. Saat itu saya dipersilakan tinggal di rumahnya agar membimbing anaknya untuk rajin kuliah.  Setelah setahun saya pamit untuk tinggal  di kost dekat LIA, Jalan Pengayoman no.6 , karena saya mulai mengajar alam hari sampai pukul 9 malam.

Setelah itu karena ibu saya bekerja  di Washington DC dan ayah saya pergi menyusul, saya mendiami rumah di Pondok Pucung sambil sedikit-sedikit merenovasi ruamah ortu dari hasil keringat saya sendiri. Sekitar setahun, tiba-tiba ada salah paham antara saya dan abang tertua saya, sehingga saya kabur kembali ke kost sampai akhrnya saya menikah.

Sejak menikah, saya tinggal di rumah milik mertua. Saat mau menikah kami sebenarnya meminta izin untuk menkontrak rumah, namun ibu mertua menyatakan bahwa tanggung jawab suami saya sebagai anak laki-laki satu-satunyalah  yang  harus merawat rumah ini berdasarkan aturan adat. Dan saya istrinya harus mendampinginya. Titik.

Namun, ternyata pernyataan itu bukan berakhir dengan tanda titik, namun banyak tanda baca lainnya.

Pertama, kami tinggal bersama dengan kembaran perempuan suami. Kemudian, cara kami memaknai banyak hal ternyata  berbeda definisinya dengan tetangga dalam. Ranjau semakin banyak setelah kami sudah memilki anak, merekrut pembantu, baby sitter. Tuhan menyelamatkan saya dengan memberikan jalan untuk meninggalkan tanah air dan tinggal di Yokohama selama 1,5 tahun.

Kembali ke tanah air dengan 2 anak dan kondisi hamil tua, masih harus diterjang gelombang-gelombang tarik urat syaraf dengan tetangga dalam. Seolah menjadi dosa bawaan saya untuk memiliki apa yang orang lain tidak miliki, Sementara saya terbiasa tidak perduli dengan apa yang orang lain miliki.

Saya belajar untuk menerima kekuatan saya sebagai kelemahan saya. Kekuatan seperti tak perduli dihina, tak gentar diintimidasi menjadi  terbalik diartikan sebagai keras kepala, tidak ada empatinya, tidak tahu diri. Saya rasa tidak banyak orang paham bahwa untuk ukuran orang seperti saya seolah sudah dari sononya ditakdirkan untuk menantang pendapat orang lain.

Jika rumah menjadi sesuatu yang diperebutkan antara saudara kandung, saya sudah mengalaminya sejak usia 15 tahun. Jika ada orang yang berniat baik untuk menjalankan amanah dan masih saja dianiaya, barangkali sinetron sudah menayangkan puluhan episode dan terlalu membosankan untuk saya tuangkan dalam blog apalagi novel yang mungkin bahkan bisa jadi best seller.

Mungkin, bagi saya yang sudah belasan kali pindah tempat tinggal, sudah tidak punya lagi comfort zone.Bagi saya rumah tidak bisa diartikan bangunan dan mesti ada batas kekuasaan. Rumah bagi saya adalah tempat tinggalnya orang-orang yang saling mengasihi. Dan cukup penghiburan bagi saya untuk mengingat bahwa sebaik-baiknya rumah di dunia  ini hanyalah untuk sementara saja.