Sunday, October 07, 2012

on the other side of the fence











Setelah jam makan siang, seorang teman menghampiri meja saya dan bercerita soal mimpi semalam. Dari cerita ringan akhirnya berlanjut dengan curcol (curhat colongan) mengenai saudara sedarah yang kelihatannya kurang berkenan dihatinya. Saya bisa membayangkan kemasygulan hatinya karena merasa tak dipahami, tak diperlakukan seperti harapannya. Teman saya ini berseloroh , " temen gue aja mau bela-belain bantuin gue, ini saudara sedarah sendiri, huh, boro-boro".

Saya teringat abang tertua saya. Harapan-harapan saya padanya sebagai kakak tertua dan betapa  menggantungnya di angan-angan saya harapan-harapan itu. Apa yang saya katakan padanya, apa yang saya ingin dengar darinya. Lalu apa yang terjadi dan apa yang akhirnya saya rasakan. Cara saya mensikapi setiap prilakunya yang tanpa bisa dicegah sangat bias --penuh dengan judgement pribadi.Lalu terbayang wajah istri abang tertua saya ini. Hal-hal yang harus dialaminya selama hidup bersama kakak saya yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pastinya saya sendiri belum tentu sanggup kalau harus di posisi sang kakak ipar. Apa saya berhak berkomentar "seharusnya begini, seharusnya jangan begitu?". Atau malah keblinger mengatakan " nah, semua ini adalah suratan takdir. Jadi jalani saja kehidupanmu yang sulit itu". #ngaco.

Dan kemudian abang tengah saya yang penuh dengan hitungan matematis untuk memutarkan uang. Bisakah saya menyalahkan dia berhitung demikian giat, sehingga akhirnya batas antara hemat, investasi, kikir, dan menyengsarakan diri sendiri plus orang lain yang hidup dengannya? Rumah, mobil, tanah, usaha ternyata tidak berbanding lurus dengan kesehatan, standar kelayakan hidup dan lainnya yang hanya Tuhanlah yang melihat.

Keduanya tetap kakak kandung saya. Mana bisa saya merubah karakter? Di sisi lain, apakah saya akan membiarkan saja mereka menafikan hal-hal yang sebenarnya bisa membuat kehidupan mereka lebih baik. Ah, lagi-lagi itu kan pendapat saya.

Saya semakin kencang berpegangan pada pagar hati saya. Apalagi semakin kesini semakin saya menyadari bahwa dalam hidup saya terlalu sering memaksakan pandangan saya kepada orang lain. Kalau sedang datang waras, saya bisa menarik diri dan menutup mata. Nah, most of the time, saya teriaki semua orang yang tak mau melihat. #Huft

Saya pikir saya tahu kehidupan orang lain dan bagaimana menjalaninya. Padahal, mana saya tahu semua yang harus mereka jalani adalah bagian dari proses belajar. Sedangkan Tuhan saja bersabar menantikan hasilnya, kenapa saya harus menentukan tujuan instruksional khususnya ? Apa saya pembuat kurikulum kehidupan? #toyorkepalasendiri

Angin Oktober mulai terasa dingin. Saya baru paham, saya harus meregangkan cengkraman saya pada pagar hati saya dan kembali menjalani kehidupan saya sendiri sebaik-baiknya.