Monday, November 19, 2007

What Akira was trying to teach me




I was beginning to feel a bit lonely, terribly bored, desperately burnt out... perhaps it's because the hormone thing --if I have to blame on--.

I decided to stay home, finding something to do around the house --cyber surfing, cleaning the rooms, watering the plants, meditating in the kitchen. Still, something is burning inside. Don't have the name for it , not even a definition.

Suddenly, Akira called out
"Ibu, bli ana? " (ibu, where is big brother)
Then I said to him that his big brother went to the music class. He was grinning at me. Holding a pair of pants and shirt , he tried his best shot to say " mo egi" (I wanna go) so convincingly that I could not turn down his wish.

I bent down and asked him where he wanted to go. Without a word, he changed his shirt and looked for his shoes. It occured to me that a child like him would always believe that any other adult around him would accomodate his needs.

He asked my hand before we closed the gate. The smile he wore on his face, and his eyes gazed at me with admiration. I completely forgot such look a person used to have. Those sparkling brown eyes really ensambled the one whose attention and sincerety is in question. We walked down the street holding hands and gazing at each other. Like two people just met but have grown to trust each other.

We went back home in less than an hour, but we had a good time going by public transportation and managed to buy what we really want: a dozen of plastic balls for Akira and two jars for me.

It was like finding the feeling I have lost hundred years ago. It was really not about the words we said, nor the promises we made. It was only an impromptu date. No hassle. No rush. No expectation. No complain. No criticism. No "should have been"s or "could have".

It was really one fine sunday afternoon. Somehow, that was all we need.

Monday, November 12, 2007

Advice on ur wedding

Finally the day arrrived.
Long reservations,
waiting and weighing,
for the right time.

On that day, real big day
dowries are ready
bestmen are welldressed
family and relatives gathered

a kiss on a cheek from your old man
save some prayer from a far
before you depart to make your vow



The father of the bride
took your hand
and watch your words
for you to keep his daughter
as your wife,
like in any religion,
for better for worse





Tears flow on your mother's cheek
more about being happy for you
than feeling losing her youngest son
to start a new life in a new path


We are happy for you, Pak Didot, Bu Elly
Be happy and grow old together
Show respect and appreciation to each other


Look for the good in your spouse
Do not allow unkind comments from your lips
say "yes" a lot more than "no" for your favor
say things sweet and nice sincerely



be smart about when to keep quiet,
when it is time to talk.
give yourselves some space,
instead of arguing over and over again
when things getting out of hand

Wednesday, November 07, 2007

Rasa kehilangan

Manusia memang aneh, dan jeleknya saya juga manusia, sehingga harus mengakui punya keanehan juga. Paling mudah menunjuk atau mengenali keanehan orang lain, dibanding diri sendiri. Hehe.

Anak saya yang paling besar, akhir-akhir ini setiap pagi selalu menangis. Ada saja yang dia jadikan alasan untuk menangis. Seringnya sih : gak mau mandi, gak mau sikat gigi, gak mau berangkat kursus. Kalau saya biarkan menangis, tangisan makin keras. Kalau sudah terlalu memekakkan telinga dengan sendirinya saya tak kuasa meminta dia berhenti menangis. Meskipun hasilnya adalah dia meraung-raung :" gak mau dimarahin" seolah-olah saya mau memakan anak sendiri. Pada tahap itu, saya membebaskan diri dengan cara menarik nafas panjang tanpaberkata apa-apa lagi, dan menawarkan diri untuk memeluknya.

Ternyata, dunia ini rasanya tidak akan rame kalau tidak ada insiden lain. Baru-baru ini ibu saya menelepon sekonyong-konyong pada saat saya sedang terbelit urusan dengan klien alot atau malam kala mimpi indah membuai. Yang dikatakan ibu saya juga cuma sedikit, cuma repot urusannya karena pakai nada suara merintih atau setengah menangis. Keluhannya berkisar kakinya sakit tidak bisa berjalan, pembantu hariannya tidak datang, dua anaknya (abang saya:red) belum mengirimi uang, mobil Holden milik ayah saya yang sudah tidak jalan itu merintangi dia menyirami tanaman, dst, dst. Saya cuma bisa mendengarkan. Jurus cesplengnya adalah keesokan harinya saya datang berkunjung dan membawakan buah sekedarnya.

Menerima SMS yang tak terduga isinya, rasanya mirip tersambar halilintar. Kadang rambut saya seolah berdiri semua jika tiba-tiba ada "pesan sponsor" dari mertua. Namanya juga mantu, mana bisa saya pilih-pilih waktu menerima sms. Apalagi mertua perempuan saya setelah pensiun kelihatannya punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal apa saja yang tidak terlintas di benak saya. Hal yang cukup mencengangkan saya adalah di saat saya diburu deadline atau berada di dunia antah berantah (berpikir keras tentang proposal pelik atau menghadapi proyek di kantor) bisa ada saja SMS yang WOW yang bisa membuat kepala saya berdenyut-denyut dan menebak apa maksudnya. Setelah bisa bernafas teratur, baru saya sadar bahwa kami sudah beberapa waktu tidak menelepon sekedar memberi kabar.

Kemarin ini juga saya tiba-tiba kesal, menggerutu tanpa juntrungan kepada suami. Bukan perkara PMS, bukan cemburu, bukan juga soal anak, apalagi pembantu. Tapi jangan salah, ada rentetan peristiwa yang saya permasalahkan. Biasanya tidak menjadi masalah, tapi kali ini saya keberatan. Pokoknya itu semua racun harus keluar saat itu juga. Awalnya, sebagaimana lelaki normal adanya, suami saya yang merasa didakwa dan dipojokkan tiba-tiba, juga mengeluarkan kritikan-kritikan pedas. Sebagai perempuan normal, menangis pula saya ini jadinya. Sesudah itu kami berdua terdiam. Kemarahan saya yang meledak seperti gunung meletus itu mereda hanya dengan rengkuhan penuh rasa maaf dan kesepahaman. Ah, ternyata saya juga uring-uringan karena merasa kehilangan lantaran beberapa hari terakhir suami saya sibuk rapat kerja, dan saya tidak kebagian waktu primanya.

Rasa kehilangan akan kedekatan dengan orang yang kita cintai memang bisa jadi racun di tubuh dan pikiran. Mulanya cuma dirasakan sendiri, lalu menjadi penyakit fisik, dan yang kurang menguntungkan adalah mempengaruhi cara berpikir. Kalau sudah berpikir yang aneh-aneh, bicara jadi kacau. Nah....sebagai orang yang juga dicintai, rasanya wajar mengayomi orang yang kita cintai yang sedang tidak rasional. Kadang bentuknya sesederhana pelukan hangat, percakapan telepon yang akrab dan penuh perhatian, senyum penuh kemafhuman.